Sabtu, 13 Maret 2010

BU MAI: WANITA PERKASA



Kadangkala kita tidak peduli dengan keberadaan peran para wanita dalam kehidupan kita. Semua dianggap biasa dan menjadi kodrat mereka sebagai perempuan. Mereka harus mengerjakan berbagai kegiatan ekonomi dengan bekerja di luar rumah sekaligus wajib menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga. Para lelaki atau suami umumnya hanya dibebani satu tugas utama saja, yakni mencari nafkah keluarga sedangkan istri harus memutar otak menggunakan uang belanja itu agar cukup hingga akhir bulan. Peran ganda perempuan itu biasa disebut dengan double burden. Uniknya, tidak sedikit perempuan kita yang kemudian memiliki tiga beban sekaligus (triple burden): pertama sebagai istri dan ibu, kedua sebagai wanita karir, dan ketiga sebagai mahasiswa. Kisah di
bawah ini merupakan cerita nyata yang semoga dapat kita petik hikmahnya.

Saya memiliki kawan yang sedang menempuh kuliah S3 di IAIN Semarang. Ia berasal dari Garut, Maesyaroh namanya. Sebelum belajar di Semarang, ia tercatat sebagai dosen di STAI Darul Arqom Garut. Saat itu ia adalah seorang ibu dari dua anak, usia 4 tahun dan 2 tahun. Adapun suaminya bekerja sebagai dosen di UPI Bandung.

Pada awal kuliah, Bu Mai--begitu ia biasa dipanggil--memboyong kedua anaknya ke Semarang. Berhubung suaminya tidak bisa menemaninya karena alasan tugas di Bandung, jadilah bu Mai tinggal di Semarang bertiga dengan kedua anaknya dibantu oleh tetangga sebelah kontrakannya. Ketika ia harus kuliah, kedua anaknya diasuh oleh tetangganya itu. Begitu pula ketika ia harus mengerjakan tugas-tugas kelas yang cukup menantang, ia dengan berat hati meninggalkan kedua buah hatinya itu di rumah. Untungnya, hingga satu tahun berlanjut, seluruh aktifitas kuliah dapat diikutinya sehingga nilainya pun cukup memuaskan.

Menginjak semester III, Bu Mai mengandung. Inilah yang membuat sebagian kawan turut prihatin. Bagaimana cara mengatur jadwal kuliah, mengerjakan tugas, memelihara anak, dan menjaga janinnya tanpa didampingi suami? Sungguh tiga bahkan empat tugas berat yang harus dipikul sendiri oleh seorang Maesyaroh. Untungnya, bu Mai adalah sosok wanita yang tegas, tegar, dan istiqamah. Setiap habis kuliah, ia membenamkan diri di perpustakaan untuk mencicil penyelesaian tugas. Ia pernah berkata kalau ia pulang, tak ada waktu lagi untuk membuka buku apalagi mengetik naskah. Dengan keuletan dan ketelatenannya, ia pun bisa menyelesaikan seluruh rangkaian tugas belajar di semester III dengan sukses.

Kini kuliah memasuki semester IV. Bayi bu Mai telah lahir. Usianya baru sekitar 2 bulan. Berhubung semester ini masih ada beban kuliah sebagai pendamping penulisan disertasi, bu Mai harus kembali ke Semarang bersama ketiga putra-putrinya.Dua hari yang lalu, kuliah telah dimulai dan bu Mai terpaksa membawa bayinya mengikuti kuliah di kelas. Sesekali suasana kuliah menjadi cair ketika terdengar suara bayi merintih atau menangis. Para bapak yang mendominasi jumlah kelas tersenyum-senyum karena teringat anak-anak mereka di rumah. Wajar, usia para mahasiswa di kelas kami tidak terpaut jauh sehingga tidak sedikit yang sedang memiliki bayi seusia anak bu Mai.

Saya sendiri menganggap bu Mai sebagai sosok wanita perkasa. Rasanya saya tidak sanggup jika harus memerankan tugas seperti yang diemban bu Mai saat ini. Bersama istri dan kedua anak saya di Semarang, saya terkadang kehabisan energi dan waktu dalam membagi kesempatan untuk belajar, bekerja, sekaligus merawat keluarga. Bu Mai benar-benar hebat, berani sendirian di Semarang bersama ketiga anak-anaknya yang semuanya tentu meminta perhatian ekstra. Di tambah lagi beban kuliah pun nampaknya tidak kompromistis, 3 tahun harus selesai. Semester ini kami harus membuat makalah komprehensif untuk disidangkan di hadapan 5 penguji. Lalu kami harus menyiapkan proposal disertasi yang nantinya akan dipertahankan di hadapan 7 penguji. Serangkaian kewajiban ini bagi saya cukup berat, rasanya tidak terbayangkan bagaimana bu Mai mengatasi semua tantangan ini. Tapi, saya yakin, berkaca kepada tiga semester sebelumnya, bu Mai telah menunjukkan keberhasilannya. Semester ini, dengan ijin Allah, ia pasti akan mampu melewati seluruh rangkaian ini dengan sempurna. Amin. Wa Allah a’lam.

1 komentar:

  1. Keikhlasan adalah segalanya, Insya Allah dengan ikhlas Allah SWT akan meridhoinya

    BalasHapus

Introduction